Sunday, April 24, 2011

Pentas Monoplay ''Negaraku Sedang Demam''

 Akan dipentaskan lagi 
Lokasi: Concert Hall Taman Budaya Yogyakara
Waktu: ‎01 Mei 2011 19:30
Penulis naskah: Indra Tranggono
Sutradara: Isti Nugroho
Penata Musik: Toto Rahardjo dan Novi Budianto
Penata Cahaya: Wardono
Penata artistik: Rifzika
Penata Kostum/rias: Eko Winardi/Enok Retno Damayanti

Tim Kreatif:
Indra Tranggono, Eko Winardi,
Toto Rahardjo dan Fajar Suharno

Kontributor Gagasan: Simon Hate

AKTOR-AKTOR:
Joko Kamto (sebagai WARGA)
Olivia Zalianty (sebagai DASTRI)
Novi Budianto (sebagai BUNG KARNO)
Fajar Suharno (sebagai BUNG SJAHRIR)
Eko Winardi (sebagai DEMONSTRAN)

 Kilas balik
Tubuhnya tua, setengah abad umurnya, namun raut muka tampak sebaliknya, kuat. Kumisnya lebat, terlihat Garang. Pada beberapa adegan dia berteriak lantang, mengejek, tertawa terpingkal-pingkal, sesekali menangis. Berontak, sekaligus pasrah. Begitulah peran Warga dalam lakon monoplay “Negaraku Sedang Demam” yang dipentaskan kamis malam, 13 Januari 2011, di Bentara Budaya Jakarta. Warga diperankan sangat apik oleh Joko Kamto, salah satu personil musik gamelan Kiai Kanjeng asuhan Emha Ainun Nadjib yang juga aktif dalam seni peran teater. Selain tokoh Warga, beberapa tokoh lain seperti Darsi (Olivia Zalianty), ruh Sutan Sjarir (Fajar Suharno), ruh Bung Karno (Novi Budianto), dan Demonstran Profesional (Eko Winardi) juga tampil menyajikan cerita masing-masing secara monolog, namun mereka saling terkait dalam satu kesatuan cerita. itulah kemudian disebut sebagai monoplay. Setiap peran beradegan sendiri-sendiri, bergantian, tidak bersinggungan satu dengan lainnya, namun setiap peran dan adegan diikat kuat oleh tema dan alur cerita.
Joko Kamto berperan sebagai Warga
Ruangan pementasan telah terisi penuh, separuh duduk lesehan di depan panggung, separuh lagi duduk manis di kursi bagian belakang. Terlihat beberapa tokoh film yang telah malang melintang di dunia teater telah hadir, sebut saja Slamet Raharjo, Ine Febrianti, dan masih banyak lagi. Juga tak mau ketinggalan, hadir pula beberapa anak kecil (tingkat SD, SMP, dan SMA) ikut bersiap menikmati suguhan acara.

Sengaja tidak membaca terlebih dahulu sinopsis cerita yang dibagikan di awal acara, saya ingin menyaksikan teater monoplay ini dengan tanpa ekpektasi, tanpa penasaran, mengalir menikmati suguhan apa adanya. Ini adalah kali pertama saya menonton seni teater. Kadung menyukai setiap hal yang berhubungan dengan kesusastraan, film, musik, memasuki menit ke-15 saya langsung jatuh hati pada seni pertunjukan ini. Betapa tidak, kekuatan ide cerita sudah dirasakan dari awal pertunjukkan. Digarap sangat apik dengan naskah yang cerdas dan menohok karya Indra Tranggono, pun ditunjang dengan akting memukau para pemainnya. Tema monoplay ini mengangkat tentang hubungan Negara dan rakyat dari sudut pandang mantan narapidana yang juga aktivis orde baru, Isti Nugroho, yang juga menyutradarai pementasan ini.

Cerita “Negaraku Sedang Demam” mengambil seting di sebuah museum sejarah, yaitu Museum Perjuangan. Sebuah metafora untuk menggambarkan situasi Negara kita saat ini. Sebuah museum di tengah kota yang menyimpan banyak patung para pahlawan Indonesia, mulai dari Mahapatih Gajah Mada sampai Bung Karno. Museum ini  dijaga oleh seorang mantan narapidana bernama Warga. Warga dikisahkan sebagai mantan aktivis di era Orde Baru yang dipenjara selama delapan tahun dengan tuduhan subversif kiri. Tuduhan yang dirasa sangat mengada-ada pada zaman itu, dimana segala sesuatu yang ber”aroma” kiri harus ditangkap, tidak sejalan dengan arah tujuan bangsa, alasannya.

Bagaimana cerita ini bergulir? kisah dimulai dengan adegan di mana Warga, sang tokoh utama beradegan secara monolog menceritakan tentang asal muasal pillihannya menjadi penjaga Museum Perjuangan daripada harus tunduk oleh kekuasaan dan uang.

“Biarkan saya jadi diri sendiri, tidak mau menjadi boneka siapapun. Selalu berkata tidak, untuk sesuatu hal yang memang harus ditolak. Itulah cara saya untuk bertahan sebagai manusia yang merdeka, manusia yang tetap menjaga nilai-nilai layak dan patut untuk mencapai kesejahteraan yang sejati”.
Add caption

Secara jenaka Warga pun menceritakan pula bagaimana situasi museum ini belakangan, dimana ratusan ribu masyarakat dari pelosok negeri berziarah ke tempat ini untuk memohon sesuatu, memohon pemenuhan hak-hak mereka yang tidak dipenuhi oleh Negara. Negara absen, sedang demam. Peziarah itu dari kalangan beragam, mulai dari petani, buruh, sampai dengan tersangka koruptor. Dicontohkan, ada seorang peziarah yang memohon agar lolos dari pemeriksaan KPK. Namun kemudian diberi syarat, harus berjalan telanjang dari Aceh sampai Papua sambil berjoget-joget. Kontan penonton tertawa-tawa melihat adegan yang diperankan apik oleh Joko Kamto ini.

Cerita berlanjut pada adegan monolog dimana Warga mendapat telepon keluhan dari seorang peziarah yang mengadukan bahwa WC di rumahnya mampet. Dengan sindiran menohok, Warga menjawab “Mengatasi WC mampet saja masa tidak bisa? Bagaimana mau perubahan? Apa perlu dibuatkan satuan tugas (satgas) penanggulangan WC mampet?”.

Sindiran berlanjut pada bidang pendidikan, dimana merupakan kewajiban Negara untuk menjamin pendidikan bangsa. “Itupun kalau Negaranya tidak sedang tidur!”.

Musik garapan Toto Raharjo mengalun syahdu, penuh kegetiran, mengiringi adegan dimana Warga membaca surat dari pacarnya terkasih yang meninggalkannya saat dia bebas dari penjara. “Ketika berhubungan dengan masa depan, pacarku mendadak menjadi manusia konvensional, mana militansinya?”, lirih Warga, perih.
Olivia Zalianty berperan sebagai Darsi

Pada adegan berikutnya, seting berganti sebuah kafe, tempat dimana Dastri sedang diwawancara oleh wartawan senior, untuk keperluan rubrik sosok  seorang anggota parlemen. “Tulis kalau saya itu punya komitmen, integritas, dan kapabilitas yang oke. Mengenai kecerdasan saya, tolong tulis bahwa saya sudah suka membaca tentang hal-hal besar dari sejak SMP, seperti buku “Tumbangnya Sang Diktator”. Jangan lupa, tulis kalau itu buku bahasa inggris. Oh iya, kamu kan wartawan senior, pintar-pintarlah menyanjung dan membesarkan saya di rubrik itu”, pesan Dastri tanpa malu-malu.

Lalu, bagaimana kisah seorang Warga bertautan dengan kisah Dastri? Dikisahkan bahwa Dastri merupakan sahabat sesame aktivis yang sekaligus nyaris jadi pacar Warga di waktu silam. Karena kepentingannya yang ditawari menjabat sebagai ketua fraksi di “Wakil Rakyat”, Dastri menghubungi Warga untuk dijadikan sebagai konsultan politik pribadinya. Namun apa yang terjadi, Warga menolak. Di mata Warga, Dastri tak lebih dari sekumpulan Srigala pemangsa. Di mata Darsi? Warga layaknya gembel miskin yang patut dikasihani.

Darsi berkilah:

Srigala-srigala berkeliaran
Saling memangsa di kegelapan
Kini, Cuma ada satu pilihan
Kita memangsa, atau dimangsa.

Selanjutnya, dikisahkan ruh-ruh para pahlawan hadir di museum. Mereka berorasi, bergantian. Hadir Bung Karno (Novi Budianto), juga Bung Syahrir (Fajar Suharno) membacakan puisi.

Kelelawar menyambar senja
Bertanya hari
Berganti malam
Samar-samar aku tatap indonesia
Aku jadi galau, perih, terpukau.
Usia panjang kemerdekaan
Ternyata bukan tabungan kemuliaan
Tapi hanya jadi tanda
Kita tidak kunjung matang
Kita tidak kunjung dewasa
Bangsa ini tetap saja gamang
Padahal kemerdekaan ini bukan hadiah, bukan pula transaksi harga
Kita memilih merdeka, karena kita berani mengepakkan sayap, terbang ke cakrawala
Namun kini, kemerdekaan justru terasa menjadi kutukan
Karena bangsa ini mengira
Merdeka hanya cukup dicapai dengan revolusi semata
Padahal revolusi hanya bisa jadi mug sejarah
Yang bisa berkarat dan rapuh
Tanpa jiwa-jiwa yang revolusioner
Jiwa kita mencair, menjadi lendir
Karena yang kita buru, hanyalah hal cair dan anyir
Semua telah membadai, semua telah tergadai
Cita-cita yang dulu, hilang, terburai
Di atas tumpukan bangsa
Harapan menjelma belatung
Dan rasa sesal menjadi buah kesangsian yang
Atas semua hal yang kekal,
Yang semestinya bisa kita genggam
Fajar Suharno sebagai Sutan Sjarir

Novi Budianto berperan sebagai Bung Karno
Klimaks dari cerita ini, Museum Perjuangan diserang oleh para demonstran dengan tuduhan bahwa museum ini telah menjadi pusat kasak kusuk dan provokasi, semua menjadi kisruh tidak karuan. Museum telah menjadi pusat perklenikan secara nasional, dan itu adalah musyrik secara politik. Mereka menamakan diri mereka sebagai “Demonstran Profesional”, karena memenuhi order si “Bos Besar”.

“Tidak perlu minder dan rendah diri menjalani profesi sebagai Demonstran Profesional. Karena Demonstrasi merupakan komoditas yang menuntut kemampuan, keterampilan, dan kompetensi keilmuan. Lagi pula, percuma mempertahankan yang sakral di Negara yang politiknya serba kotor ini. Hal yang sakral harus diubah menjadi program dan komersial. Dan demi order dari bos besar, yang telah memberi jaminan kepada kita hidup enak, Jamsostek (jaminan sosial tetek bengek), dan Japisus (jaminan pijat khusus)”, ujar mereka.
Cerita ditutup dengan adegan Warga menangisi Museum Perjuangan yang telah porak poranda oleh ulah Demonstran profesional itu. “Kenapa dihancurkan? Padahal para penziarah itu hanya ingin bertemu dengan pahlawannya. Apakah penziarah itu harus menemui wakilnya yang di DPR sana? Nyatanya mereka sibuk dengan perut mereka sendiri. Pemerintah? Sama saja, Pemerintah menghabiskan waktunya dengan bersolek. Persoalan gincu dan bedak menjadi lebih penting dari pada pemenuhan-pemenuhan hak-hak warga Negara. Kamu ngumpet di mana ketika hak-hak rakyat tidak terpenuhi?”.

“Saya hanya ingin menjadi manusia yang mampu membedakan mana yang layak dan tidak layak, patut dan tidak patut sesuai hati nurani. Tak ada ibu yang berharap anaknya besar menjadi srigala”.
“Ternyata cinta jadi terasa sangat mahal bagi siapa saja yang kikir. Ternyata cinta jadi terasa sangat membebani dan menyiksa bagi siapa saja yang terpenjara dalam kuasa dan citra”.

“Kalian menyangka kuasa dan citra adalah pencapaian sempurna atas kehormatan dan martabat? TIDAK. kuasa dan citra tak lebih dari gelembung-gelembung sabun yang hampa dan rapuh”.

“Kalian telah gagal membedakan antara popularitas dan martabat. Martabat itulah yang kini lenyap, hingga kalian kehilangan ukuran dan batasan-batasan. Perubahan yang dulu kita perjuangkan, ternyata hanya menghasilkan telor busuk peradaban, karena kita gagal mengawal, dan luput membaca daur ulang sejarah. sejarah telah dikendalikan uang”.
Apa pesan yang ingin disampaikan oleh pementasan monoplay ini? Rasa-rasanya ini adalah tentang kegalauan hati rakyat, tentang optimisme di tengah rasa pesimis yang berkepanjangan atas Negara yang absen, sedang demam.
(Red/Ega Julaeha.Doc foto: Aditya,Ririn Habsari)
Komunitas Kenduri Cinta

2 comments:

  1. sampun mantun kang acarane...
    Lokasi: Concert Hall Taman Budaya Yogyakara
    Waktu: ‎01 Mei 2011 19:30

    ReplyDelete